Ketika Perang Dunia I meletus, Hitler turut serta pada usia 25 tahun sebagai pengantar pesan dalam pasukan Infantri Resimen Bavaria ke-16, dan ia merupakan salah satu orang yang paling beruntung di medan pertempuran. Pernah suatu kali resimennya bertemu pasukan Inggris dan Belgia di dekat Ieper (bahasa Perancis: Ypres), resimennya kehilangan 2.500 dari 3.000 orang, tewas, luka-luka atau hilang dan Adolf Hitler lolos tanpa luka sedikitpun dan beberapa kali ia berdiri di satu tempat dan kemudian berpindah ke tempat lain yang beberapa detik kemudian tempat dia sebelumnya berdiri kejatuhan bom. Luka pertamanya didapatnya pada tanggal 7 Oktober 1916 tepat 2 tahun setelah ia terjun kedalam perang, akibat pecahan mortir di perang di Kota Somme. Ketika gencatan senjata ditanda tangani pada tanggal 11 November 1918, Hitler sedang dirawat di rumah sakit akibat terkena serangan gas klorin dari inggris yang mengakibatkan buta sementara. Ketika itu Hitler menjabat sebagai kopral
Senin, 11 Februari 2008
adolf hitler
Ketika Perang Dunia I meletus, Hitler turut serta pada usia 25 tahun sebagai pengantar pesan dalam pasukan Infantri Resimen Bavaria ke-16, dan ia merupakan salah satu orang yang paling beruntung di medan pertempuran. Pernah suatu kali resimennya bertemu pasukan Inggris dan Belgia di dekat Ieper (bahasa Perancis: Ypres), resimennya kehilangan 2.500 dari 3.000 orang, tewas, luka-luka atau hilang dan Adolf Hitler lolos tanpa luka sedikitpun dan beberapa kali ia berdiri di satu tempat dan kemudian berpindah ke tempat lain yang beberapa detik kemudian tempat dia sebelumnya berdiri kejatuhan bom. Luka pertamanya didapatnya pada tanggal 7 Oktober 1916 tepat 2 tahun setelah ia terjun kedalam perang, akibat pecahan mortir di perang di Kota Somme. Ketika gencatan senjata ditanda tangani pada tanggal 11 November 1918, Hitler sedang dirawat di rumah sakit akibat terkena serangan gas klorin dari inggris yang mengakibatkan buta sementara. Ketika itu Hitler menjabat sebagai kopral
Rabu, 06 Februari 2008
suharto
Kol.Inf. (Purn) Soetrisno Suharto lahir dari pasangan orang tua yang berdarah Jawa di R. Sialang Rampah wilayah Propinsi Sumatra Utara pada tanggal 27 Juli 1940. Beliau mengawali pendidikan akademisnya di Akademi Militer (AKABRI) di Magelang Angkatan VIII pada tahun 1961 dan tamat pada tahun 1964, yang kemudian menjadi titik awal dalam karier selanjutnya. Sebagai seorang militer, Soetrisno Suharto pernah ditugaskan ke berbagai tempat di seluruh Indonesia bahkan di dunia internasiona.
Awal tugasnya dimulai di Semarang, pada tahun 1965, sebagai Danton pada Kesatuan DAM VII/DIPONEGORO selama kurang lebih 2 (dua) bulan, karena Jabatan Wadan K14/412 pada YONIF 412 menunggunya di Purworejo Jawa Tengah dimana Soetrisno Suharto kemudian bertemu dengan Siti Khomsiyati (1948), yang pada akhirnya menjadi istrinya dan dan ibu dari 2 orang putri serta 1 orang putra yaitu : Dian Susilowaty, Susanti Dian Savitri dan Joned Agung Prabowo. Karier kemiliteran tersebut diakhiri dengan pangkat terakhir Kolonel Infanteri pada tahun 1986. Dan sekitar 3 (tiga) tahun kemudian beliau dipercaya Rakyat Semarang untuk menjadi Walikotanya.
Tugas-tugas berikutnya dilaksanakan sebagai pejabat yang sangat berkesan dihati warga, tidak saja di kota Semarang namun juga di Jawa Tengah. Menjadi Walikota di masa Reformasi ternyata memerlukan sikap yang arif dan tidak harus menggunakan kekerasan. Semua masalah dapat diselesaikan dengan tenang. Situasi dan Kondisi kota Semarang yang turut bergolak sebagai imbas dari protes - protes mahasiswa, ditanggapainya dengan pendekatan sebagai layaknya seorang "Bapak" kepada "Anak".
Dalam prinsipnya, Semarang harus tetap kondusif untuk upaya-upaya pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Awal tugasnya dimulai di Semarang, pada tahun 1965, sebagai Danton pada Kesatuan DAM VII/DIPONEGORO selama kurang lebih 2 (dua) bulan, karena Jabatan Wadan K14/412 pada YONIF 412 menunggunya di Purworejo Jawa Tengah dimana Soetrisno Suharto kemudian bertemu dengan Siti Khomsiyati (1948), yang pada akhirnya menjadi istrinya dan dan ibu dari 2 orang putri serta 1 orang putra yaitu : Dian Susilowaty, Susanti Dian Savitri dan Joned Agung Prabowo. Karier kemiliteran tersebut diakhiri dengan pangkat terakhir Kolonel Infanteri pada tahun 1986. Dan sekitar 3 (tiga) tahun kemudian beliau dipercaya Rakyat Semarang untuk menjadi Walikotanya.
Tugas-tugas berikutnya dilaksanakan sebagai pejabat yang sangat berkesan dihati warga, tidak saja di kota Semarang namun juga di Jawa Tengah. Menjadi Walikota di masa Reformasi ternyata memerlukan sikap yang arif dan tidak harus menggunakan kekerasan. Semua masalah dapat diselesaikan dengan tenang. Situasi dan Kondisi kota Semarang yang turut bergolak sebagai imbas dari protes - protes mahasiswa, ditanggapainya dengan pendekatan sebagai layaknya seorang "Bapak" kepada "Anak".
Dalam prinsipnya, Semarang harus tetap kondusif untuk upaya-upaya pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran ma
Kol.Inf. (Purn) Soetrisno Suharto lahir dari pasangan orang tua yang berdarah Jawa di R. Sialang Rampah wilayah Propinsi Sumatra Utara pada tanggal 27 Juli 1940. Beliau mengawali pendidikan akademisnya di Akademi Militer (AKABRI) di Magelang Angkatan VIII pada tahun 1961 dan tamat pada tahun 1964, yang kemudian menjadi titik awal dalam karier selanjutnya. Sebagai seorang militer, Soetrisno Suharto pernah ditugaskan ke berbagai tempat di seluruh Indonesia bahkan di dunia internasionalsyarakat.
Awal tugasnya dimulai di Semarang, pada tahun 1965, sebagai Danton pada Kesatuan DAM VII/DIPONEGORO selama kurang lebih 2 (dua) bulan, karena Jabatan Wadan K14/412 pada YONIF 412 menunggunya di Purworejo Jawa Tengah dimana Soetrisno Suharto kemudian bertemu dengan Siti Khomsiyati (1948), yang pada akhirnya menjadi istrinya dan dan ibu dari 2 orang putri serta 1 orang putra yaitu : Dian Susilowaty, Susanti Dian Savitri dan Joned Agung Prabowo. Karier kemiliteran tersebut diakhiri dengan pangkat terakhir Kolonel Infanteri pada tahun 1986. Dan sekitar 3 (tiga) tahun kemudian beliau dipercaya Rakyat Semarang untuk menjadi Walikotanya.
Tugas-tugas berikutnya dilaksanakan sebagai pejabat yang sangat berkesan dihati warga, tidak saja di kota Semarang namun juga di Jawa Tengah. Menjadi Walikota di masa Reformasi ternyata memerlukan sikap yang arif dan tidak harus menggunakan kekerasan. Semua masalah dapat diselesaikan dengan tenang. Situasi dan Kondisi kota Semarang yang turut bergolak sebagai imbas dari protes - protes mahasiswa, ditanggapainya dengan pendekatan sebagai layaknya seorang "Bapak" kepada "Anak".
Dalam prinsipnya, Semarang harus tetap kondusif untuk upaya-upaya pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.